Artikel ini ditulis oleh Dr. Syamsuddin Arif, dipetik dari buku PLURALISME AGAMA Satu Gerakan Iblis Memurtadkan Ummah terbitan Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT) – untuk medapat maklumat lanjut sila hubungi pejabat MUAFAKAT – Tel: 03 4106-0175
************
Banyak projek yang telah dan sedang digarap atas nama ‘dialog antara agama’, namun sedikit mereka yang mengetahui asal muasal serta latar belakangnya, dan lebih sedikit lagi yang memahami andaian dan tujuan sebenar yang terselit di balik pelbagai aktiviti dialog antara agama. Tulisan ini saya pecah menjadi dua bahagian: bahagian pertama mengulas sejarah dialog antara agama dan latar belakangnya, manakala bahagian kedua menghurai pola hubungan antara Islam dengan agama lain – khususnya agama Kristian sebagaimana tercermin dalam sikap, perilaku dan karya tulis ulama Islam sepanjang sejarah sejak zaman dahulu hingga sekarang ini.
Dari Toleransi ke Dialog
Istilah ‘dialog antara agama’ adalah terjemahan dari interfaith atau interreligious dialogue yang pertama kali dicetuskan oleh Gereja Katholik selepas Konsili Vatikan II, di mana antara lain dibahas sikap Gereja terhadap agama-agama lain. Dalam sebuah dokumen rasmi berjudul Nostra Aetate (“Di Zaman Kita”) dinyatakan bahawasanya Gereja Katholik tidak mengingkari adanya kebenaran dan kesucian pada agama-agama selain Kristian (Ecclesia catholica nihil eorum, quae in his religionibus vera et sancta sunt, reicit), bahawasanya agama-agama lain tersebut adalah pantulan cahaya kebenaran yang menerangi seluruh umat manusia (haud raro referunt tamen radium illius Veritatis, quae illuminat omnes homines), namun tetap menegaskan pendiriannya bahawa Jesus Kristus ialah satu-satunya jalan [keselamatan], satu-satunya kebenaran, dan satu-satunya kehidupan (Annuntiat vero et annuntiare tenetur indesinenter Christum, qui est ‘via et veritas et vita’ [Gospel Yohannes (John) 14.6] yang hanya dengannya manusia dapat hidup beragama secara utuh dan sempurna (in quo homines plenitudinem vitae religiosae inveniunt). Di sini tersirat ambivalensi Gereja: di satu sisi mengesankan perubahan sikap dari eksklusif menjadi inklusif, tetapi di sisi lain tetap meyakini bahawa keselamatan hanya bisa diraih oleh para pemeluk Kristian. Seperti kata St. Cyprianus: “Salus extra ecclesiam non est, tak ada keselamatan di luar gereja.”
Selanjutnya Gereja mengimbau kepada ‘anak-anaknya’ supaya mengadakan dialog dan kerja-sama dengan pemeluk agama lain secara hati-hati dan penuh cinta kasih dengan tetap menyatakan keyakinan dan kehidupannya sebagai seorang Kristian demi memelihara dan meningkatkan kebaikan moral maupun spiritual yang terdapat pada agama-agama tersebut beserta nilai-nilai masyarakat dan budayanya (Filios suos igitur hortatur, ut cum prudentia et caritate per colloquia et collaborationem cum asseclis aliarum religionum, fidem et vitam christianam testantes, illa bona spiritualia et moralia necnon illos valores socio-culturales, quae apud eos inveniuntur, agnoscant, servent et promoveant). Dari sini juga jelas bahawa dialog dan kerjasama itu tidak boleh melunturkan apa lagi menggugurkan keyakinan alias akidah yang sedia ada.
Dialog dengan kaum Yahudi dan Muslim konon bertujuan mengikis rasa permusuhan serta menumbuhkan sikap saling memahami (ad comprehensionem mutuam), saling memaklumi dan saling menghormati (mutuam utriusque cognitionem et aestimationem). Namun sekali lagi ditegaskan bahawa sikap bersahabat dan non-diskriminatif kepada semua bangsa (“conversationem … inter gentes habentes bonam” (1 Petrus 2,12) yang mengiringi dialog antara agama, selain dimaksudkan untuk hidup rukun damai dengan sesama (cum omnibus hominibus pacem habeant), pada hakikatnya dan akhirnya adalah upaya halus agar seluruh manusia menjadi ‘anak-anak Tuhan Bapak di Sorga’ (ita ut vere sint filii Patris qui in caelis est). Kesimpulannya, dialog antara agama merupakan pakej terbaru Kristianisasi yang dibungkus dalam misi perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan.
Untuk tujuan tersebut Pope Paul VI mendirikan Segretariato per i non-Cristiani pada 1964 yang pada 1988 ditukar namanya menjadi The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID). Sekretariat ini diberi tugas menyelenggarakan pelbagai forum antara agama, membentuk dan – kalau sudah ada – mendukung individu mahupun organisasi atau lembaga yang mau bekerjasama dan aktif terlibat dalam kegiatan mereka. Melalui Dewan Gereja se-Dunia (The World Council of Churches) telah diadakan secara rutin dialog antara agama di berbagai belahan dunia. Sekretariat tersebut juga menerbitkan sebuah buku panduan, khususnya untuk ‘berdialog’ dengan kaum Muslim. Di tataran akademik telah diluncurkan pula jurnal ilmiah bernama Islamochristiana (terbitan Pontificio Istituto di Studi Arabi e d’Islamistica, Vatikan), jurnal Studies in Interreligious Dialogue (oleh The European Society for Intercultural Theology and Interreligious Studies bekerjasama dengan penerbit Peeters, Belgia), Bulletin of the Royal Society for Inter-Faith Studies, dan jurnal Islam and the Christian-Muslim Relations (terbitan Department of Theology and Religion, Universiti Birmingham, England). Misi baru ini didukung oleh sejumlah tokoh akademik kelas dunia. Sebutlah di antaranya Karl Rahner yang membuat istilah anonymous Christian untuk orang-orang non-Kristian yang tidak menyadari bahawa dirinya Kristian. Profesor Hans Küng dari Universiti Tübingen yang mengetuai ‘Foundation for A Global Ethic’ menekankan pentingnya dialog antara agama karena perdamaian dunia mustahil tercapai, katanya, selagi konflik antara agama tidak diselesaikan. Sementara itu, Profesor John Hick dari Universiti Birmingham melontarkan gagasan Global Theology (satu teologi bagi semua pemeluk agama sedunia) sebagai konsekuensi dari dialog antara agama dan pluralisme agama.
Di Indonesia, gerakan dialog antara agama dimulai pada 1970-an. Pionirnya adalah A. Mukti Ali (Menteri Agama waktu itu) diiringi Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo dan Djohan Efendi. Kemudian pada 1990-an dialog antara agama digerakkan oleh beberapa tokoh Kristian semacam Th. Sumartana. Beberapa NGO lalu didirikan untuk menyebarluaskan gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Contohnya, Masyarakat Dialog Antara-agama (MADIA) yang dirintis oleh Budhy Munawar-Rachman, Bernardia Guhit, Trisno Sutanto, Retnowati, Kautsar Azhari Noer dan Komaruddin Hidayat. Adapula yang namanya DIAN –kependekan dari Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) Yogyakarta yang sering menggelar pertemuan antara jejaring kelompok agama seperti di Malino dan Banjarmasin. Kemudian muncul pula Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang diresmikan oleh Gus Dur (ketika itu masih Presiden RI) dan dimotori oleh orang-orang semacam Djohan Effendi, Siti Musdah Mulia, dan lain-lainnya. Pada tahun 2000 berdiri pula Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) di mana salah satu mata kuliahnya adalah Inter-Religious Dialogue dengan ko-instruktur J.B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir dan Fatimah Husein. Pesan yang acapkali didengungkan adalah bagaimana merayakan perbedaan, mencari persamaan dan titik-temu untuk membangun kehidupan bersama yang aman, damai dan harmonis. Dalam praktiknya kemudian para penganjur dan peserta dialog antara agama bisa melakukan ‘sembahyang bersama’ (common prayer) dan bahkan nikah dengan orang dari agama lain, sebagaimana kita saksikan dalam trilogi film dokumenter produksi CRCS berjudul ‘Uniting the divided’ (Menyatukan yang terbelah), ‘Inter-religious marriage’ (Menikahi agama), dan ‘I am a pious kid’ (Aku anak sholeh) yang diluncurkan pada 2007. Pembenaran atas praktik keliru ini disediakan oleh Nurcholish Madjid dan rakan-rakannya dalam buku Fiqih Lintas Agama.
Tipologi Hubungan Islam dengan Kristian
Apabila diteliti dengan saksama, hubungan Islam dan Kristian pada tataran intelektual maupun sosio-kultural serta ekonomi-politik terjadi dalam tiga pola. Pertama, pola polemis-apologetik; kedua, pola konflik-konfrontatif; dan ketiga, pola irenik-dialogis. Pola pertama, dari perkataan Yunani kuno ‘polemikos’, artinya suka berlawan atau bermusuhan, dan apologetik (juga dari bahasa Yunani kuno ‘apo’ dan ‘legô’, bicara menjauhi persoalan untuk membela diri, ditandai dengan perang keyakinan, dimana masing-masing pihak berusaha menjatuhkan pihak lain. Pola kedua berupa aksi militer dan pertempuran fisik. Adapun pola ketiga menunjukkan toleransi penuh, hidup bersama dengan rukun dan damai (peaceful coexistence) bersama umat agama lain sebagaimana dipraktikkan selama berabad-abad sejak zaman Rasulullah di Madinah dan generasi sesudahnya.
Polemik Cendekiawan
Pola polemik-apologetik kita temukan akar-akarnya di dalam kitab suci al-Qur’an. Terdapat cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an mengkritik dan mengecam akidah orang Kristian yang hakikatnya adalah koreksi langsung dari Allah SWT. Namun sayangnya, bagi mereka yang kafir kepada Nabi Muhammad SAW, semua teguran dan koreksi tersebut dianggap sekadar pendapat peribadi beliau. Hal ini tidak mengejutkan, mengingat sejak awal pun mereka sudah mengingkari kenabian dan kerasulan beliau, sehingga kitab suci al-Qur’an mereka pikir cuma karangan Nabi Muhammad SAW–argumen tipikal orang kafir sebagaimana disitir dalam surah al-Muddatstsir ayat 25: “Ini kan cuma perkataan manusia” (in hadza illa qawlu ’l-basyar). Rasulullah SAW juga dilarang berkompromi dalam perkara akidah maupun ibadah, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Kafirun: “Katakanlah: Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak menyembah apa yang kusembah. Dan aku bukan penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang kusembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” Ayat-ayat suci ini tidak menyuruh perang dan tidak pula menganjurkan permusuhan. Apa yang diperintahkan di sini adalah orang Islam mesti bersikap tegas dan kukuh dengan keyakinan dan kebenaran agamanya.
Sudah barang tentu polemik tersebut berlangsung cukup seru. Dari pihak Kristian terkenal Yahya ad-Dimasyqi alias Johannes Damascenus (hidup sekitar 655-750 Masehi) yang pertama kali menulis karya berjudul Peri Haireseôn. Dituduhnya agama Islam itu sesat dan menyeleweng karena mengajarkan fatalisme dan bermacam-macam tuduhan lain. Upayanya itu diteruskan oleh generasi berikutnya. Kaisar Byzantium Leo III konon pernah mengirim surat polemik kepada Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz di Damaskus. Sementara itu Theodore Abu Qurrah (w. 820), ‘Abd al-Masih al-Kindi (fl. 830), dan ‘Ammar al-Basri (fl. 850) pun aktif membuat tulisan-tulisan polemik-apologetik sebagai pembelaan terhadap doktrin-doktrin Kristian. Di abad kesepuluh, Yahya ibn ‘Adi (w. 974) membuat karya serupa dalam bahasa Arab untuk menangkis serangan al-Kindi. Selanjutnya Petrus Venerabilis (w. 1156), Ricoldo de Monte Croce (w. 1320), Nicolaus Cusanus (w. 1464) dan Martin Luther (w. 1546) bertungkus-lumus mencipta imej buruk mengenai Islam dan Nabi Muhammad SAW dalam karya tulis mereka. Di zaman modern muncul intelektual semacam Voltaire (w. 1778) dan orientalis-misionaris seperti Aloys Sprenger (1893), William Muir (w. 1905) dan rakan-rakannya yang melakukan pelecehan serupa. Mereka gambarkan Nabi Muhammad itu seolah-olah ‘sakit jiwa’, ‘penganjur sektarianisme’, ‘padri pembelot’, ‘pengobar peperangan’, ‘penggemar wanita’ dan sebagainya.
Sementara dari pihak Islam dikenal sejumlah tokoh-tokoh ulama dan cendekiawan yang aktif dalam polemik dan meninggalkan karya tulis. Menurut catatan Ibn an-Nadim dalam kitab al-Fihrist, hampir semua ‘pentolan’ Mu‘tazilah pernah menulis karya polemik terhadap Kristian, mulai dari Abu ’l-Hudzayl al-‘Allaf dan al-Jahizh hingga al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar. Ulama Syi‘ah pun tak ketinggalan. Tokoh Syi‘ah Zaydiyyah di Yaman bernama al-Qasim ibn Ibrahim al-Hasani al-Rassi (w. 246/899) dikenal dengan kitabnya ar-Radd ‘ala n-Nashara. Bahkan cendekiawan liberal seperti al-Warraq pun menyerang doktrin-doktrin Kristian. Dari kalangan Ahlus Sunnah tercatat nama-nama Ibn Sahnun (w. 256/870) yang menulis kitab al-Hujjah ‘ala n-Nashara, Abu l-Qasim al-Balkhi (w. 319/931) yang mengulas ajaran Kristian secara kritis dalam kitabnya: Awa’il al-Adillah. Di abad sesudahnya ada Imam al-Juwayni (w. 478/1085) yang menulis kitab Syifa’ al-‘Alil fi r-Radd ‘ala man baddal at-Tawrat wa al-Injil dan murid beliau Imam al-Ghazali (w. 505/1111) dengan kitabnya yang berjudul ar-Radd al-Jamil li Ilahiyyati ‘Isa bi-sharih al-Injil.
Karya-karya polemik terus bermunculan, seperti ditunjukkan Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606/1209) dalam Munazharah fi r-Radd ‘ala l-Yahud wa n-Nashara. Di samping beliau, ada dua lagi tokoh penting yang juga aktif berpolemik di abad ke-7 hijriah ini. Mereka adalah Najmuddin az-Zahidi (658/1260), penulis ar-Risalah an-Nashiriyyah, dan Syihabuddin al-Qarafi (w. 684/1285) yang menulis al-Ajwibat al-Fakhirah ‘an al-As’ilat al-Fajirah. Abad berikutnya menyaksikan Ibn Taymiyyah (w. 728/1328) dengan kitabnya yang berjudul al-Jawab as-Shahih li-man baddala Din al-Masih, disambung murid setia beliau, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350) dengan risalahnya, Hidayat al-Hayara fi Ajwibat al-Yahud wa an-Nashara. Generasi sesudahnya pun tak kalah hebat. Abdullah at-Tarjuman (ca. 823/1420) menulis Tuhfat al-Arib fi r-Radd ‘ala Ahli s-Shalib, manakala Abu’l-Fadhl al-Maliki as-Su‘udi (ca. 942/1535) menerbitkan al-Muntakhab al-Jalil min Takhjil man harrafa al-Injil. Perlu diingat bahawa abad ini adalah permulaan apa yang kemudian disebut sebagai Zaman Modern, di mana orang-orang Eropah (Sepanyol, Portugis, Inggeris dan Belanda) mulai berlayar keluar ke Asia, Afrika, dan Amerika dengan tujuan mencari mangsa. Di antara karya-karya polemik yang ditulis di zaman modern adalah kitab Izhar al-Haqq oleh Syaikh Rahmatullah (w. 1310/1891) dari India, kitab Muhadharah fi an-Nashraniyyah oleh Syaikh Muhammad Abu Zahrah (w. 1393/ 1973) dari Mesir, dan The Choice oleh Ahmed Deedat (w. 1426/2005).
Pertempuran dan Perang
Pola kedua adalah hubungan konfrontasi fisikal dan konflik bersenjata. Sejarah mencatat hal ini adakalanya sukar dielakkan. Musuh-musuh agama ada pada setiap zaman, aktif bergentayangan dan patah tumbuh hilang berganti. Serangkaian Perang Salib yang berlangsung sejak abad ke-11 hingga abad ke-13 Masehi, pembantaian massa dan pengusiran orang Islam secara besar-besaran dari Andalusia (jazirah Iberia yang sekarang menjadi Portugis dan Sepanyol) serta kolonisasi negeri-negeri Islam di seluruh dunia (Timur Tengah, Asia dan Afrika), semuanya adalah fakta keras yang menunjukkan bahawa konfrontasi fisikal dengan para kolonialis-imperialis dan misionaris memang tidak dapat dihindari. Pada bulan Mac tahun 1095 Kaisar Alexius I minta bantuan Sidang Gereja untuk menghadang pergerakan tentera Turki Usmani yang berhasil menguasai Anatolia dan berencana merebut Konstantinopel. Pope Urbanus II menulis surat kepada raja-raja Eropah supaya mengirim tentera dan sukarelawan perang dengan iming-iming syurga dan penghapusan dosa. Sekitar 40,000 orang berkumpul di Konstantinopel untuk memulai perjalanan panjang melawan pasukan Turki dan merebut Jerusalem dari tangan orang Islam. Setelah berhasil mengusai Antioch, Syria, tentara salib bergerak menuju Jerusalem. Tanpa perlawanan yang berarti, Baitulmuqaddis jatuh ke tangan mereka pada hari Jum’at, 5 Juli 1099. Ribuan orang Islam dan Yahudi dibantai. Kaum Muslim tidak serta merta menyerang Jerusalem, akan tetapi mengadakan perjanjian damai yang ditandatangani oleh Shalahudin al-Ayyubi dan Raja Baldwin IV, penguasa Jerusalem waktu itu. Peperangan baru meletus akibat ulah Reynald Chatillon, seorang pembesar Perancis yang sangat membenci Islam dan sengaja menyerang kafilah-kafilah Islam semasa perjanjian damai. Terjadilah Perang Hittin dan Acre yang dimenangkan oleh pasukan Islam. Wilayah Palestin dari Gaza hingga Jubayl berhasil dikuasai pada awal September 1187. Sebulan kemudian, tepatnya pada hari Juma‘at, 2 Oktober 1187, Sultan Shalahudin membebaskan Jerusalem dari tentera salib.
Jika hubungan antara Umat Islam dan penganut Kristian terlihat banyak diwarnai ketegangan dan konflik maka hal itu dikeranakan beberapa perkara. Pertama, agama Islam dan Kristian sama-sama berwatak misionaris-ekspansionis, dalam arti menghendaki pemeluknya supaya berdakwah kepada orang lain sehingga benturan kepentingan acapkali terjadi. Kedua, perang salib (crusades) selama beberapa abad meninggalkan seribu satu kesan yang sulit dilupakan. Ketiga, penjajahan dan penjarahan terhadap negeri-negeri orang Islam oleh bangsa-bangsa Kristian Eropah juga masih segar dalam ingatan. Lantas pada tataran intelektual-akademik, perang pemikiran semakin gencar dimainkan oleh para orientalis. Nah, semua faktor ini punya andil besar merusak keharmonian hubungan Islam-Kristian. Bahawa kedatangan bangsa-bangsa Eropah bukan sekadar untuk berdagang, akan tetapi bertujuan menjajah, menjarah dan menyiarkan agama Kristian (proselytizing) adalah fakta yang mustahil dibantah. Orang Inggeris memasukkan Kristian ke negeri-negeri jajahan mereka (India, Afrika, dan kepulauan Melanesia, sebagaimana orang Sepanyol mengkristiankan orang-orang Moro di kepulauan Philippines dan orang Belanda membaptis orang-orang di Jawa, Sumatra dan lain-lain. Siapakah yang mendirikan gereja di Jepun dan China kalau bukan orang-orang Eropah?
Sikap Toleran dan Menghargai
Adapun corak ketiga dari hubungan orang Islam dengan orang bukan Islam adalah toleransi penuh, hidup bersama dengan rukun dan damai (peaceful coexistence) bersama umat agama lain sebagaimana dipraktikkan selama berabad-abad sejak zaman Rasulullah di Madinah, di Baghdad dan di Andalusia serta negeri-negeri lain. Dalam konteks ini menarik kita semak kesimpulan Bernard Lewis, pakar sejarah dari Universiti Princeton:
“In considering the long record of Muslim rule over non-Muslims, a key question is that of perception and attitudes. How did Muslims view their dhimmi subjects? … One important point should be made right away. There is little sign of any deep-rooted emotional hostility directed against Jews-or for that matter any other group-such as the anti-Semitism of the Christian world. … On the whole, in contrast to Christian anti-Semitism, the Muslim attitude toward non-Muslims is one not of hate or fear or envy but simply contempt [for those who had been given the opportunity to accept the truth and who willfully chose to persist in their disbelief]”.
Jadi, kaum Yahudi sendiri mengakui bahawa berabad-abad lamanya mereka hidup di bawah naungan orang Islam dalam keadaan selamat dan aman, sehingga mereka pun berpeluang membuat karya-karya yang menyumbang bagi kegemilangan tamadun Islam. Umat Islam tidak menunjukkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap kaum Yahudi atas dasar etnik atau rasnya. Kaum Yahudi tidak ditindas, tidak diganasi dan tidak dirampas hak-haknya sebagai manusia. Mereka diberikan hak untuk hidup sesuai dengan ajaran agama dan bidang profesinya. Mereka hanya dikecam lantaran menolak kebenaran dan lebih memilih kafir daripada masuk Islam meski mereka sudah diberikan penjelasan dan kesempatan untuk itu. Beda halnya dengan pengalaman mereka hidup di bawah pemerintahan raja-raja Kristian di Eropah, di mana mereka dipandang dan diperlakukan dengan sangat buruk bahkan dihalau dari England pada tahun 1290, dari Perancis pada tahun 1391, dari Austria pada tahun 1421, kemudian dari Sepanyol dan Portugis pada tahun 1492. Di Russia dan sekitarnya kaum Yahudi sejak 1881 secara rutin menjadi mangsa kerusuhan alias pogrom, yang mencapai klimaksnya pada zaman Nazi Jerman di abad keduapuluh.
Pendekatan Dialog
Pola lainnya adalah dialog. Pola ini sebenarnya terbilang baru, sebab tidak satu ayat pun kita temukan dalam kitab suci al-Qur’an yang menganjurkan dialog. Sebagaimana telah diuraikan di atas, istilah dan gagasan dialog antara agama dicetuskan oleh Gereja Kristian karena dan untuk tujuan tertentu. Inilah sebabnya mengapa tokoh-tokoh Muslim kontemporer berselisih pendapat dalam soal ini. Mereka yang setuju dan melibatkan diri dalam dialog antara agama antara lain almarhum Profesor Isma‘il Raji al-Faruqi dan Profesor Mahmoud Ayoub, manakala almarhum Profesor Fazlur Rahman dan Profesor Naquib al-Attas termasuk yang tidak merestui dialog semacam itu. Mereka yang pro dialog kerap mengutarakan alasan berikut: dialog bertujuan mengenyahkan salah faham, prejudices, dan kebencian antara satu sama lain; dialog adalah upaya menjalin tali persahabatan dengan pemeluk agama lain, mengendurkan ketegangan, mendorong kerjasama, saling hormat dan saling mengerti. Semua ini penting dilakukan terutama oleh kaum Muslim yang hidup di negara-negara Barat sebagai kelompok minoritas agar tidak dibenci, dimusuhi, dan ditindas. Adapun mereka yang kontra dialog melihat aktivis dialog antara agama umumnya tidak menyedari bahawa dialog semacam itu secara halus menggiring mereka kepada kekeliruan, kompromisme, sinkretisme, relativisme dan pluralisme agama, sehingga terbentanglah jalan bagi pemurtadan (proselytization). Padahal, tokoh-tokoh Kristian sendiri ada yang menentang dialog antara agama karena alasan sederhana: andaikata semua agama itu benar, maka Gereja Vatikan sudah lama bubar!
Maka penting digaris bawahi bahawa dialog antara agama mengandung beberapa andaian dan harapan. Pertama, setiap peserta dikehendaki menganggap semua partisipan sama statusnya. Kedua, peserta dialog sejak awal beranggapan bahawa keyakinan agama lain belum tentu salah. Dengan kata lain, partisipan sadar atau tanpa sadar disuntikkan faham relativisme, bahawa semua agama boleh jadi benar. Ketiga, peserta dialog biasanya dimohon mengetepikan masalah-masalah pokok yang menjadi titik-sengketa, seraya mengedepankan masalah remeh-temeh yang mereka anggap sebagai titik-temu agama-agama. Apa yang ingin dicapai dari dialog? Selesai dialog diharapkan para peserta tidak hanya saling memahami tetapi juga ‘saling mengakui’ dan mahu meyakini kebenaran agama lain! Bagi orang Islam yang menyertai dialog semacam ini diharapkan supaya membuang jauh-jauh keyakinan kepada Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Pendek kata, dialog antara agama pada intinya akan menguntungkan misi Gereja untuk mengkristiankan dunia.
Kesimpulan
Fakta sejarah maupun bukti tekstual menunjukkan bahawa yang dilakukan Umat Islam sejak abad pertama Hijriah adalah satu dari atau kombinasi strategi-strategi berikut ini: (i) dakwah secara bijak, rasional dan persuasif (da‘wah bil hikmah wal maw‘izhah al-hasanah), yakni mengajak orang-orang Kristian untuk masuk Islam, kerana mereka yakin bahawa Islamlah agama yang benar. Berbeda dengan ‘dialog’ yang menganggap semua agama sama benarnya, ‘dakwah’ berangkat dari kesedaran penuh dan keyakinan kukuh sang juru dakwah bahawa agama selain Islam itu keliru dan sesat. Dakwah tidak bertolak dari relativisme atau pluralisme agama. Strategi kedua (ii) adalah debat secara santun dan tegas (jidal billati hiya ahsan), yakni menjawab argumentasi orang Kristian dalam berbagai forum dan media, menyanggah mereka dengan hujah-hujah yang logis rasional, secara lisan maupun tulisan. Jalan terakhir (iii) adalah aksi militer alias perang, apabila semua jalan tersebut di atas ditutup atau disekat, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Adapun dialog antara agama seperti yang digagas dan dipraktikkan oleh kalangan tertentu belakangan ini tidak lain dan tidak bukan bertujuan menggeser posisi keyakinan kita supaya lebih atau makin dekat lagi kepada kekufuran. Apabila kita sudah mengakui dan meyakini bahawa agama-agama itu sama benar dan sama intinya, maka kemurtadan hanya tinggal selangkah. Wa min dzālika na‘ūdzu billāh!
Nota:
Makalah ini dibentangkan dalam Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam, anjuran Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT) pada 1 hb Mei 2010 bertempat Kuliyyah Ekonomi, Univeristi Islam Antarabangsa (UIAM).
*********
Dr. Syamsuddin Arif mendapat pendidikan di KMI Gontor 1989, Majlis Qurra’ wa-l Huffazh, Bone, Sulsel, Sarjana Mudanya dari Univeristi Islam Antarabangsa (UIAM) 1996, ijazah sarjana dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia 1999, ijazah doktor falsafah juga dari ISTAC 2004 dan ijazah kedoktoran keduanya dari Orientalisches Seminar, Universitaet Frankfurt, Jerman.
Leave a comment
Comments feed for this article